Bahasa Dan Perilaku Pemimpin


Seorang suster meminta pakaian kotor seorang pastor untuk dicucikan. Tetapi pastor itu mengatakan, bahwa ia minta ember saja. Apa yang ada dipikiran suster tersebut bahwa permintaannya tidak diterima pastor tersebut? 

Contoh itu diberikan Rm. Agustinus Priyono Marwan SJ dalam pertemuan para Dewan Penasehat Provinsi, Pimpinan Komunitas, dan Formator, yang diadakan di Gedung Gembal Baik, Gisting 19-20 Agustus 2018. Pertemuan ini membahas tentang Bahasa dan Perilaku Pemimpin.

Bila suster itu berpikiran bahwa pastor itu tidak mau merepotkan orang lain. Nah, itu berarti suster itu mampu masuk dan memahami pikiran, perasaan dan kehendak orang lain. Itulah yang dinamakan memiliki kecerdasan emosional. Kurangnya kecerdasan emosional menjadi penyebab terjadinya banyaknya masalah dalam kehidupan sehari-hari, jelas Rm. Priyono.

Kecerdasan emosional dapat dilatih dengan: mengenal kekayaan atau perasaan-perasaan. Dari sekian banyak emosi itu mana yang paling kuat/dominan. Selain itu, menjinakkan yang kuat dan liar dan melatih yang baik tetapi lemah

Pengungkapan emosi bisa berbeda antara tempat yang satu dengan tempat yang lain, budaya satu dengan budaya lainnya. Tugas kita adalah mampu mengungkapkan emosi secara tepat sesuai dengan tempat dan budayanya.Orang bisa marah dengan kata-kata misalnya, “Saya marah denganmu.” Bagaimana cara kita untuk mengungkapkan emosi secara tepat, sehingga emosi menjadi efektif. Pengungkapan emosi yang salah bisa menimbulkan konflik dan ketegangan.

Bagian dari kecerdasan emosi adalah mampu menangkap emosi orang lain baik sedang marah atau sedih, dan tahu cara menghadapinya secara tepat. Kita menanggapi emosi orang lain bukan bereaksi. Kecerdasan emosi yaitu kemampuan mengenali isi emosi diri sendiri dan orang lain, memahami polanya dan menanggapi secara tepat. Terjebak dalam sikap reaktif akan mendatangkan banyak konflik.

Untuk membantu menyelesaikan suatu masalah maka diperlukan untuk memahami dulu apa penyebabnya. Jika masalahnya karena ketidaktahuan/pengetahuan maka akan kita bantu dengan memberi tahu. Jika masalahnya emosi maka harus dibantu mengolah perasaan. Setelah kita menemukan penyebabnya maka kita bisa membantu dan menanggapi dengan tepat.

Kita dapat membaca emosi seseorang lewat bahasa tubuhnya: wajah, tangan, dan kaki. Rm. Priyono juga mengajak agar para suster memperhatikan dengan siapa kita berkomunikasi dan dalam konteks apa sehingga tetap menjaga etika berkomunikasi. Begitu pula dalam penggunaan media sosial, perlu bersikap bijaksana baik dalam pemilihan kata, update status dan juga foto-foto.

Meski Paus Fransiskus mengatakan, jangan takut untuk masuk dalam era digital, tetapi kita tetap perlu mengingat batas-batasnya dan  memperhatikan etika yang ada.

Hari ketiga, Sr. M. Katarina memaparkan tentang JPIC dilanjutkan dari tim spiritualitas. Hari terakhir para suster berkunjung ke Vihara dan Rumah Lampung. ***

Fransiska FSGM