BERSIH DAN JERNIH


Catatan A. Eddy Kristiyanto OFM

Retret agung mulai dengan Rabu Abu sampai dengan Sabtu Suci telah diawali. Semuanya ada 46 (empat puluh enam) hari. Selama kurun waktu itu Gereja Roma Katolik melakukan permenungan yang berjiwa tiga dimensi relasional, yakni yang berkenaan dengan diri sendiri, sesama, Allah.

Retret Agung yang hampir diidentikkan dengan masa pantang dan puasa ini jelas-jelas Katolik bangets. Sebab aneka denominasi Kristen Protestan tidak mengenali (lagi) tradisi luhur itu. Bagi denominasi-denominasi Protestan, tradisi (pantang dan puasa) itu kegiatan khas yang mengedepankan usaha-usaha insani, yang bisa mengaburkan karunia ilahi.

Sepintas kilas, di satu pihak, segala bentuk dan macam aktivitas insani yang berciri-corak spiritual sekali pun dipandang oleh aliran Kristen Protestan sebagai hal yang berseberangan dengan karunia ilahi. Namun di lain pihak, Gereja Katolik memberi ruang leluasa pada ikhtiar manusia beriman untuk mengolah dan mengelola pemberian dari Allah.

Semua pandangan baik Katolik maupun Protestan memiliki kerapuhan dan kelemahannya sendiri. Misalnya, Kristen Protestan terlalu berat sebelah dalam memandang upaya manusia sebagai yang bersifat pesimistik. Untuk itu, mengandalkan Allah dan daya-Nya merupakan jalan satu-satunya yang perlu, mengingat pada manusialah berasal segala kerapuhan. Sementara itu, seturut keyakinan yang berurat-berakar pada tradisi sehat Gereja Katolik terus-menerus meyakini Allah yang percaya pada manusia, daya dan kemampuannya, terutama karena Allah sudah memberikan dan mempercayakan rahmat-Nya, wahyu-Nya kepada manusia.

Namun di atas segala perbedaan pandangan dan praksis di antara para pengikut Yesus Kristus mengenai pantang dan puasa masing-masing aliran mempraktikkan keyakinannya sendiri-sendiri dengan tetap menghargai serta menaruh hormat pada sesama apa pun kepercayaannya.

===============================================

Mengingat yang disasar secara khusus dalam masa Prapaskah ini adalah refleksi (bertiga dimensi relasional, yakni diri sendiri, sesama, dan Tuhan Allah), maka diri sendiri itulah yang pertama-tama dan terutama diatur serta ditata. Pengaturan dan penataan itu sejauh menjadi tanggungjawab dan tugasnya sebagai orang beriman dalam komunitas memiliki akar tunggang, yakni pertobatan.

Jika setiap pribadi yang mampu menggunakan akal budi, kebebasan, suara hati, kehendak secara bertanggung jawab menemukan kerapuhan dan cacat berupa dosa (terutama yang disengaja), langkah-langkah berikut ini dapat dimanfaatkan untuk mengasah budi dan hati agar bersih dan jernih.

Mendayagunakan firman Tuhan (Kitab Suci), bacaan rohani, ajaran Gereja, Anggaran Dasar (regula), Konstitusi, hagiografi (biografi orang-orang mursyid atau suci), tradisi sehat komunitas gerejawi, dan lain sebagainya merupakan panggilan ke jalan pertobatan. Konkretnya begini:

Dalam suasana hening dan reflektif, kita mau menggali dan mendapatkan pengalaman pribadi.

Pertama: Mencari dan menemukan dalam pengalaman kita selama ini (misalnya dalam kurun waktu sebulan atau sesemester) yang menarik perhatian kita.

Kedua: Mencari dan mendapatkan alasan yang tepat, jujur pengalaman yang menarik perhatian kita (bisa berciri positif, bisa berciri negatif, tetapi apa pun cirinya namun bermakna, memiliki arti atau nilai). mengapa kerapuhan dan cacat kita itu perlu diperbaiki dan ditinggalkan sama sekali?

Ketiga: Kalau pengalaman itu berciri negatif, misalnya memperlihatkan kerapuhan dan cacat kita, siapa-siapa saja yang dirugikan?

Keempat: Bagaimana sikap kita selama ini? Apa yang perlu saya tempuh secara konkret untuk memperbaiki?

Kelima: Mencari dan menemukan entah dalam Kitab Suci (lectio divina), entah dalam hagiografi, entah dalam bacaan rohani, entah dalam ajaran Gereja yang menunjukkan sikap rapuh atau catat dan yang perlu dilakukan sebagai tindakan konkret dari pertobatan.

Keenam: Membaca dan “mengunyah”, merenungkan poin kelima di atas dengan tenang dan hening.

Ketujuh: Merumuskan dengan kata-kata adorasi dan syukur kepada Allah atas penemuan baru, atas pemaknaan khusus hidup ini, atas pengalaman sesama dan komunitas, dan atas firman Tuhan yang menegur dan menyentosakan.

Dalam tatap-tahap pembersihan dan penjernihan itu, kita mengakrabi suatu pendekatan eksistensialisme. Maksudnya, sebagai pribadi cara kita berada sangat sering dipengaruhi, bahkan ditentukan oleh sikap (attitude) diri.

================================================

Komunitas-komunitas dapat mendorong para anggotanya untuk secara kreatif menciptakan cara-cara inkonvensional. Temuan itu diasah dan diperkaya dalam sharing komunitarian. Dengan begitu diharapkan suasana hidup bersama senantiasa terbarukan dengan kehendak baik.

Ambil contoh misalnya pertobatan ekologis. Setiap anggota komunitas kita memiliki konsep atau pengertian tentang pertobatan ekologis. Bagaimana kita mensharingkan pengertian yang berbeda-beda; Bagaimana masing-masing anggota memperluas dan menajamkan pemahaman kita tentang pertobatan ekologis; Langkah-langkah konkret apa yang perlu ditempuh dalam tingkatan personal (pribadi) dan tingkatan komunitas, dan lain sebagainya.

Gerak dan tolok ukur pertobatan ekologis ini dalam arti tertentu simpel, yakni mengubah sikap diri menjadi semakin positif, tertuju pada kebaikan dan kualitas bersama. Dengan demikian, kemuliaan Allah terbukti di dalam semakin hidupnya segenap ciptaan-Nya. *****