Catatan A. Eddy Kristiyanto OFM
Harapan saya para pembaca web ini percaya, bahwa takut itu pengalaman nyata, lumrah, dekat dengan diri kita, sehingga takut itu salah satu ciri eksistensal kita, kendati ada sesumbar yang santer bunyinya, “Siapa Takut?!”
Kita sendiri sepertinya dididik dan dibentuk dengan bumbu-bumbu penyedap ketakutan. Misalnya kita pernah dibiasakan mendengar bahwa di pengkolan jalan itu kalau malam dan sepi terdengar suara rintihan kesakitan ……; di rumah kosong itu setiap malam Jumat Kliwon ada rapat roh-roh jahat …..; di pohon randu dekat kuburan itu sesekali ditemukan usus …… dlsb., dlsb.
Seturut pengalaman kita, ada seribu satu wajah dan rupa ketakutan. Menurut waktu ada ketakutan masa lampau, masa kini, masa nanti; menurut tempat ada ketakutan akan ketinggian, kedalaman; menurut kondisi ada ketakutan akan gelap, sakit, catat, mati, dan lain sebagainya.
=========
Dalam Injil Markus 4:35-41 kita membaca tentang pengalaman para murid akan bahaya kematian yang disebabkan oleh taufan dan ombak; dan kita juga memeroleh inspirasi bagaimana mengelola ketakutan agar berubah menjadi kekuatan yang menyentosakan.
Kita dapat membayangkan kondisi para murid yang dihadapkan pada kebuntuan; mereka akan binasa ditelan ganasnya ombak.
Kalau para murid itu hidup di zaman now mereka dimungkinkan untuk menggunakan prakiraan cuaca karya BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), menyiapkan life-vest (pelampung), dlsb. Namun alih-alih itu semua, yang ada di antara para murid adalah panik.
===========
Berhubungan dengan “panik dan ketakutan”, saya mempunyai pengalaman yang unik.
Beberapa waktu lalu beberapa saudara sekomunitas kami kena Covid-19, bahkan saudara-saudara yang semeja makan dengan saya. Ketakutan itu karena kami semua belum divaksinasi, dan terutama saya pribadi pernah stroke sehingga daya ketahanan tubuh saya catat, jauh dari kekuatan masa muda.
Terutama pada malam hari sebelum hasil PCR diketahui, semua pemikiran liar berkecamuk: takut, cemas, khawatir sampai-sampai tidak bisa tidur hingga fajar tiba.
Tentu saja dengan takut, cemas, khawatir, tidak bisa tidur sepanjang malam, daya tahun dan imunitas siapa pun akan drop. Padahal dari segi kognitif saya paham betul, ketakutan-kecemasan-kekhawatiran saja tidak dapat mengatasi persoalan.
============
Nah, Injil Markus tersebut memberi kita kata kunci, ketika Guru Kehidupan dan Tuhan dari Nazareth itu “menghardik”. Makna kata “menghardik” memperlihatkan kekuatan dari kepercayaan yang besar.
Sebab, di mana ada kepercayaan yang besar, di situ ada kemampuan untuk mengatasi segala aral melintang. Maka kidung seperti “Tuhanlah Gembalaku, aku percaya selalu” (Bdk. Mzm. 23), bukan saja membulatkan keyakinan kita, tetapi juga menyatukan segenap kekuatan dari dalam.
Jadi, kepercayaan itu perlu diungkapkan. Sebab, setiap kali kita mengungkapkan dan mewujudkan kepercayaan, saat itu kita memperdalam.****