KASUT

Redaksi
5 Min Read

Catatan A. Eddy Kristiyanto OFM

Belum genap dua bulan belajar bahasa Italia, saya dipercaya untuk memimpin Ekaristi harian di komunitas FMM di Via Giusti 12. Jaraknya sekitar 500 meter dari Collegio San Antonio di Via Merulana 124, tempat saya tinggal.

Dalam perjalanan ke komunitas FMM itu, saya dihentikan oleh seorang ibu. Ibu itu menyalami saya dengan mencium cord jubah Fransiskan saya dan kemudian bertanya, “Anda seorang Fransiskan, bukan?” Ketika saya belum menjawab pertanyaannya, ibu itu berkata, “Mengapa Anda mengenakan sepatu?”

Sejumlah tanya mencambuki benak saya: Apa salahnya dengan sepatu? Apakah tidak matching antara jubah Fransiskan dengan sepatu? Bukankah sepatu menyediakan kehangatan di kaki lebih daripada (sepatu) sandal, apalagi saya waktu itu tidak mempunyai alas kaki selain sepatu?

Akhirnya kecamuk pertanyaan itu mendorong ungkapan keluar dari mulut saya, “Saya baru datang dari negeri yang jauh, Indonesia, dan di sana saya biasa mengenakan sepatu!”

Jawab saya sekenanya demi mengakhiri perjumpaan itu sebelum Ekaristi di FMM lebih dari 30 tahun lalu. (Rupanya terpatri dalam benak ibu itu: mengenakan jubah Fransiskan di sini kudu diimbangi dengan (sepatu) sandal, bukan dengan sepatu pantofel).

Mengenakan kasut, (sepatu) sandal merupakan salah satu bentuk kesederhanaan, meskipun tidak jarang ada kasut, (sepatu) sandal yang jauh lebih mahal harganya daripada pantofel. Tetapi gambaran umum menyatakan: kesahajaan itu terungkap dalam penampilan. Lebih dari itu, sikap hati yang sederhana akan tambil keluar dalam tindakan nyata.

Kita mendengarkan  kesaksian penginjil Markus mengenai Yohanes Pembaptis (Mrk. 1:6): “Yohanes memakai jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit, dan makanannya belalang dan madu hutan.”

Selain pola makan yang antikolesterol dan rendah purin, pola hidup Yohanes Pembaptis seperti itu menegaskan asketisme. Pola hidup itu merupakan penyeimbang dan konsekuensi praktis dari pewartaan yang diyakininya.

Di hadapan masa depan yang tengah mendatanginya ‘ada Dia yang lebih berkuasa daripada Yohanes; membungkuk dan membuka tali kasut-Nya pun Yohanes tidak layak.’

Ada apa dengan sosok yang dirujuk Yohanes Pembaptis itu?

Dalam Sermones  St. Augustinus a.l. berbicara tentang Injil Markus. Uskup Hippo itu menampilkan komparasi antara Yohanes Pembaptis dengan Yesus Almasih.

Yohanes Pembaptis adalah suara, yang berseru-seru di padang gurun.

Yesus Almasih adalah “logos”, firman, sabda.

Suara akan lenyap, tidak diingat, tidak terdengar, hilang, tidak dicontoh; dan tidak demikian halnya dengan “logos”. Ia tidak akan hilang. Abadi, Diingat. Dikenang. Diteladan. Ditiru. Itulah Sang Firman.

Kepada kita disodorkan sosok Yohanes Pembaptis yang mempersiapkan datangnya Sang Mesias dengan sikap luaran dan sikap batin yang perlu.

Paduan yang apik antara sikap luaran dan batin ini dapat menjadi mistik dalam hidup sehari-hari. Maka janganlah kiranya kita membayangkan mistik sebagai pengalaman rohani yang mendalam yang mengawang-awang, yang perlu ditunda besok-besok saja kalau sudah tua dan lanjut usia kita, atau nanti saat retret kala bermenung secara intensif.

Izinkanlah saya memberikan contoh “paduan apik lahir-batin”, mistik keseharian, namun semua itu perlu disiapkan, diciptakan, disengaja, diupayakan, dan dimohonkan.

Terlebih dahulu empat asas dasariah ini diyakini dengan sungguh:

  1. Allah sudah dan terus-menerus menganugerahkan daya-Nya kepada kita semua tanpa kecuali;
  2. Allah memberikan kepada kita, ada yang berupa 10, 15, 30, 40 dan lain sebagainya;
  3. Kita hidup dalam komunitas, bahkan kita diselamatkan-Nya di dalam komunitas;
  4. Kecintaan, passion, bahkan compassion menjadi ajang atau medan wujud dan ungkapan dari paduan lahir-batin kita.

Konkretnya:

– apakah kita menutup pintu dengan pasti?

– apakah kita menjemur kain lap dan pel dengan baik?

– apakah kita mengepel dengan bersih?

– apakah kita menikmati makanan dan minuman dengan penuh syukur?

– apakah kita menunaikan tugas dengan cermat?

– apakah kita mencintai studi dengan hati?

– apakah kita berdoa dengan rendah hati?

– apakah kita bermatiraga dengan tahu dan mau?

………….. dan seterusnya.

Jadi, kasut atau (sepatu) sandal itu masih bermakna. Pemaknaannya sangat situasional. ****

 

 

 

TAGGED:
Share This Article