MELATIH

Redaksi
5 Min Read

Catatan A. Eddy Kristiyanto OFM

Fokus perhatian catatan ini adalah inti dari Surat Paulus kepada Umat Korintus (1 Kor. 7: 32-35), yang sebagian saya kutipkan berikut ini:

“Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekhawatiran. Orang yang tidak beristri memusatkan perhatiannya pada hal-hal mengenai Tuhan, bagaimana ia menyenangkan Tuhan. Sebaliknya orang yang beristri memusatkan perhatiannya pada hal-hal duniawi, bagaimana ia menyenangkan istrinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. …..” (1 Kor. 7: 32-34a)

Lebih lanjut

“Semua ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri, bukan untuk menghalang-halangi kamu, sebaliknya supaya kamu melakukan apa yang patut, dan melayani Tuhan tanpa gangguan.” ….. (1 Kor. 7:36)

Membaca dengan saksama penggalan surat Paulus tadi terbersit sejumlah pertanyaan di benak saya: Mengapa Paulus berbicara begitu? Apakah pandangan Paulus tersebut pasti benar 100 % dan tidak mengandung kesesatan samasekali? Kalau pernyataan Paulus itu berdasarkan pengalaman pribadinya, mengapa pengalaman yang terbatas itu dijadikan patokan umum? Bukankah banyak sekali – dalam kenyataannya – pewarta Sabda yang sangat total dan habis-habisan, tidak mendua dalam tugas pelayanan mereka justru karena mereka bersuami dan beristeri? Apakah ada jaminan pasti orang-orang selibat yang melaksanakan pelayanan itu selalu total, tidak punya kekhawatiran? Bagaimana diterangkan penyalahgunaan seks (sexual abuses) dalam komunitas Gereja Katolik dengan memakai perspektif Paulus dalam Surat kepada Jemaat di Korintus tersebut?

Kita masih dapat memperpanjang litani pertanyaan. Tetapi marilah kita kembali saja ke fokus utama, yakni mengenali secara baru hal melayani Tuhan.  

=============================

Paulus di sini terutama berbicara tentang perjalanan bercorak eskatologis yang diwarnai oleh pelbagai kekhawatiran. Dengan kata lain, sebenarnya menikah atau tidak menikah sesungguhnya selalu mewarnai dengan kekhawatiran.

Kekhawatiran itu bersifat eksistensial, mencirikan kekhasan kita sebagai manusia. Selagi masih hidup, manusia tidak kalis dari ciri eksistensial. Setelah kita mati, ciri itu tidak dialami manusia lagi. Di dalam Injil Mat. 6:25-34 dan paralelnya dalam Luk. 12: 22-31, Guru Kehidupan kita mengungkap hal-ikhwal kekhawatiran.

Dalam usaha mengerahkan pemahaman saya mengenai “kekhawatiran” yang disinggung oleh Paulus dalam kaitannya dengan trik-trik baru melayani Tuhan dan juga bersambung rapat dengan penegasan Guru Kehidupan kita tentang “kekhawatiran”, perkenankanlah saya membuka perbendaharaan pemikiran dan hati saya.

 ==============================

Kunci utama seluruh dinamika kita adalah latihan, exercises.

Para Bapak Padang Gurun, seperti Antonius Mesir, Pachomeus, menyiasati secara cerdas dan bijak “kehendak daging” (dalam ungkapan Paulus di bacaan tadi: menyenangkan istri) dengan bermatiraga, mendaraskan Mazmur, menyalin Kitab Suci dan doa-doa kudus, “bermenung”. Dengan kecerdasan lengkap ini, mereka mengenyahkan iblis.

Mereka tidak memberi celah bagi masuknya roh jahat dalam perihidup mereka. Poin utamanya: latihan rohani, spiritual exercises membuat mereka tekun bertahan dan menjadi kuat.

Kemudian, kalau kita membaca dengan cermat biografi Fransiskus Assisi buah karya Thomas Celano dan puluhan hagiografi orang kudus kita akan memeroleh pencerahan yang relatif lengkap tentang spiritual discernment yang sangat padat. Bacalah misalnya 1 Cel. 51-54; 1Cel. 102-104.

Ada kalanya praksis spiritual discernment itu dinilai oleh manusia zaman sekarang ini terlalu naif, nonsense, melawan kemanusiaan, tidak cocok lagi untuk arus zaman kiwari, dan sebagainya, dan sebagainya.

Namun perlu kita hati-hati terhadap penilaian tersebut. Bisa jadi penilaian itu merupakan alibi, pembenaran sikap diri sendiri, kealergian orang dewasa ini terhadap segala bentuk masa lampau, tanpa pernah mencari, tanpa pernah menemukan semangat dan inti jiwa dari apa yang ada di balik praksis “spiritual exercises” tersebut.

=======================================

Ada ungkapan yang mengatakan,”Alah bisa karena biasa”. Artinya, segala kesukaran tidak akan terasa lagi apabila sudah biasa. Atau, kalah kepandaian oleh latihan. Dengan demikian, sesuatu yang sukar, kalau sudah biasa dikerjakan, tidak terasa sukar lagi.

Saya hendak menggarisbawahi, bahwasanya tidak mungkinlah kita membebaskan diri dari kekhawatiran dalam hidup ini. Tetapi kita diberi karunia untuk mengelola kekhawatiran itu dengan cerdas antara lain melalui “exercises yang perlu”.

Hidup harian kita adalah “exercises yang perlu.” Kesembronoan, ketidakteraturan, sembarangan, tidak mempersiapkan tugas harian dengan optimal dan sengaja tidak mengerjakan dengan baik tanggungjawab kita menjadi bumerang di kelak kemudian hari.

Hidup yang tidak diupayakan dengan sungguh, kucing-kucingan, kemunafikan, hidup yang tidak bersih mempersiapkan kita menjadi pribadi-pribadi tidak bersih. Dalam hal ini tidak akan terjadi mukjizat: kebiasaan tidak bersih dan tidak jujur akan berubah menjadi kebersihan dan kejujuran!

Mari kita jadikan kekhawatiran sebagai wahana pelatihan diri sehingga pada gilirannya menjadi mukjizat yang mengubah kualitas panggilan pelayanan kita kepada sesama, yang berarti pula pelayanan kepada Tuhan.****

Jakarta, 31 Januari 2021

Share This Article