Catatan A. Eddy Kristiyanto OFM
Menjelang Pesta St. Antonius Padua, 13 Juni saya bertegur-sapa dengan Peter, yang menulis di WA begini, “Minggu ke-15 (di rumah sakit): Berawal dari rasa pusing kemarin siang usai makan (saya) muntah-muntah. Terapi yang ringan saja. Yang lain adalah minggu ini tensi tidak stabil. Hal mana agak mempengaruhi intensitas terapi. Perubahan tetap ada, memang pelan. Terima kasih untuk doa dan dukungan.” Inilah ciri Peter, senantiasa menjawab terus terang jika ditanya tentang kondisinya.
Bonaventura
Menghuni rumah sakit di Semarang hampir empat bulan! Minggu terakhir Juni, Peter sudah menetap di Biara St. Bonaventura (Bitora), Jogjakarta. Menjalani fisioterapi dan kemudian juga akupuntur. Katanya: “Mereka yg menangani mengatakan, saya butuh 3-4 bulan lagi. Nampaknya belum bisa. Padahal sudah 4 bulan terlewati.” Tidak ada ungkapan negatif yang terungkap, meski secara kasatmata mungkin berbeda dalam tatapan orang lain.
Satu kali Peter menginap di Panti Rapih lantaran tensi naik mulai kemarin sore sampai pagi. Bahkan pada awal Agustus ia masuk ruang isolasi karena sesak nafas. “Setelah isolasi, badan sakit semua. Kaki yang stroke sulit digerakkan. Hampir dua minggu pemulihan di Panti Rapih (PR). Sekarang sudah bisa pakai tongkat lagi. Tensi cenderung tinggi begitu juga gula. Tadi checkup dan diganti beberapa obat. Semoga lebih mujarab. ….. Terapist datang (ke Bitora) dari PR.”
Sewaktu saya kontrol kesehatan ke Elisabeth Semarang dengan diantar mobil oleh Bruder Rachmat Simamora OFM pada Oktober lalu saya menyempatkan diri menjenguk Peter di Bitora. Ada foto indah yang mengabadikan perjumpaan antar-insan senasib-sepenanggungan.
Rabu, 11 November Peter mengirimi saya WA: “Mama saya baru saja dipanggil Tuhan.” Saya balas, “Turut berduka atas wafat mama, Peter. Mendoakan untuk keselamatan kekal beliau. Kamu yang kuat, Peter!” Ketegaran jiwa saya meleleh demi membayangkan Peter yang pasti tidak bisa pergi ke Flores untuk menguburkan jasad mama tercinta.
Seorang mama (yang berbagi hidupnya dengan Peter Aman) telah berangkat tanpa pernah melihat anaknya yang (juga) sedang sakit. Tercabik-cabik nurani saya memahami duka mendalam Peter yang tengah disandera oleh kerapuhan fisik, mental, dan entah apa lagi.
Akhir November, Peter membalas video call saya. Kami terlihat gembira tertawa bersama, karena dapat saling melihat via aparat canggih. Kondisinya baik. Terapi berjalan rutin juga latihan jalan. Hasil laboratoium tentang albumin, kalium, gula darah juga baik.
Pada 13 Desember saya kirimkan jajaran foto dosen STF Driyarkara (termasuk Peter). Dereten paling akhir yang terkirim adalah foto Rm Franz Magnis-Suseno SJ yang saya imbuhi komentari berikut: Tokoh besar ini, Rm Franz von Magnis, akan dikenang selama STF masih ada dengan periodisasi: STF Driyarkara Era Magnis dan STF Driyarkara Pasca Magnis. Saya tengah merampungkan draft naskah sejarah 50 tahun STF Driyarkara, Jakarta.
(Peter) membalas kiriman foto yang terakhir begini: Semoga beliau (Rm. Magnis) sehat senantiasa. Setelah itu tidak ada lagi komunikasi via WA antara saya dan Peter. Kemudian Provinsial OFM, Mikael Peruhe OFM, mengabarkan: Peter Aman dilarikan ke RS Panti Rapih karena sesak napas yang cukup akut. (WA 15 Nov. Pk. 19.55). Tidak genap satu jam kemudian Peter menyambut ajakan Sorella Morte menuju kehidupan sejati.
……………………………………………………………………
……………………………………………………………………
Seakan kesambar geledek yang melumpuhkan segalanya. Suatu kehilangan. Titik. Kosong.
Nalar ini tahu bahwa Peter menderita sakit yang sudah berbulan-bulan, sangat muskil untuk sembuh atau pulih kembali dengan komplikasi yang menelikungnya, tetapi hati ini tiada rela kalau dia pergi untuk selamanya.
Kata lirih saya secara virtual pada diri sendiri:
Entah mengapa setelah stroke, saya mudah menangis; apalagi saat terdengar kabar Peter pergi untuk tidak kembali. Dia, adik kelas empat tahun di bawah saya, itu sahabat, kolega seperjuangan sebagai regu pendidik di STF Driyarkara.
Semalam mata saya terpejam tetapi hati dan pikiran terus berkelana tanpa arah. Antara tanya yang ke mana dan jawaban yang tidak pasti. Dari cemas yang tak terurai sampai kekhawatiran yang tidak berujung. Bermula dari mengapa dan berakhir dengan mengapa pula. Semula badan berbalik ke kanan dan kemudian sebaliknya tanpa berkesudahan.
Peter, kamu sakit seperti saya. Hanya kamu telah dipilihkan oleh Tuhan jalan istimewa ini. Saya masih perlu dimurnikan dan dipertobatkan oleh Dia dari dosa melawan kasih-Nya. Saatku akan tiba juga. Doakanlah saya!
Catatan akhir: Bertahun-tahun saya bekerja sama dengan Peter baik di lingkungan persaudaraan Fransiskan maupun STF Driyarkara. Inilah guratan yang membekas kuat di hati dan budi saya perihal Peter.
Peter seorang pribadi autentik. Tiada kepalsuan sebagai fransiskan dina yang memiliki komitmen kuat. Loyalitas yang ikhlas hanya untuk melayani. Tahu memilih untuk berpihak apapun risikonya, terutama pada yang kecil, ringkih, yang dijadikan korban, dan miskin. Jalannya hening.
Kristus Tuhan yang Peter temui dalam dan bersama korban ketidakadilan kini ia jumpai dalam kedamaian abadi. *****